Minggu, 23 Agustus 2015

Berharganya Selembar KTA

Ketika Selembar KTAku Sangat Berharga
Oleh: Etty Diallova

Setelah seharian mengikuti kegiatan di gedung Ikatan Pekerja Indonesia Taiwan (IPIT), aku bersamaku, Deinara melangkah menuju Alun-alun Taipe.
Aula. Yah … di sanalah tempat berkumpul para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk berkumpul dan bertemu dangan para sahabatnya. Baik itu sahabat dari kampung, ataupun yang bertemu di sosmed lalu janjian untuk ketemuan. Seperti aku dan sahabatku Deinara, kami bertemu di Facebook lalu sama-sama bergabung pada sebuah Komunitas Penulis Kreatif Taiwan (KPKers Taiwan).

Deinara dengan handphone pintarnya sibuk berselfie ria, jeprat sana-sini. Sedangkan aku, ditemani segelas City Coffee, kubuka si Seksi putih Samsung yang baru saja kukeluarkan dari sarangnya. Kumainkan jari-jari di atas tuts keyboard untuk menulis beberapa suku kata yang bermain dalam otakku.

“Minum jamu, Mba!” suara seserang menyapaku.

“Owh … Terima kasih, Mas. Saya punya segelas kopi,” sahutku seraya menoleh kebelakang, siapakah gerangan seseorang yang menyapaku itu.

Seorang cowok, berkulit sawo matang, berambut cepak, menyungging senyumnya kepadaku.
Sudah biasa, bila sesama Buruh Migran Indonesia (BMI) bila bertemu saling bertegur sapa tanda persaudaraan.

“Kog hari Minggu ini tumben sedikit ya, yang libur?” imbuhnya kemudian.

“Iya ni, mungkin karena bencana Topan Soudelor kemarin, jadi sedikit yang libur. Anginnya kan kencang, sampai merenggut teman sesama BMI,” jawabku dengan panjang lebar.

“Iyaa, Mba. Itu yang meninggal adalah sahabatku.“

Muncul imajinasiku untuk mewawancarainya, bertanya siapakah sosong Agung Wibowo dengan tujuan untuk membuat profil almarhum untuk dimuat di sebuah majalah di Taiwan.

“Hemm … boleh kita berbincang-bincang sedikit tentang almarhum, Mas?!”

Namun pemuda di hadapanku tak bergeming, pandangan matanya berbicara seolah beliau ragu apakah aku orang baik atau bukan. Kulihat teman di sampingnya pun memberikan isyarat, agar beliau tidak terlalu banyak membuka percakapan tentang almarhum.

“Tenang, Mas. Aku bukan orang jahat! Ini kartu tanda anggotaku!” seraya kusodorkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dari komunitas kepanulisanku.
Untunglah KTA itu selalu berada dalam tas laptopku, jadi setiap aku libur untuk belajar, aku selalu membawanya ikut serta.
Pemuda itu terdiam, memandangi foto dan identitas yang tertera di KTA tersebut.

Seraya tersenyum ia berucap “Baik, Mba. Aku bersedia diwawancarai.”

Dengan cekatan aku mengambil pena dan buku catatan kecil, yang berada dalam tas hitamku, satu persatu mulai kutanyakan prihal almarhum Agung Wibowo, seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban amukan Topan Soudelor.

----------------

Liburan yang menyenangkan kala itu, selain belajar, bertemu teman sesama anggota komunitas, serta sempat praktik langsung untuk mewawancarai seorang nara sumber.


Taipei, 09-08-205

----------

Alhamdulilah liputan itu akan terbit di majalah Taiwan berbahasa Indonesia.






3 komentar: